Ruh Pendamping: Cermin dari Ruh Asal dalam Cahaya Nurani (Ruh Munfashil)
Ruh Pendamping dalam Khazanah Tasawuf dan Dzauq Nurul Muttashil
Tinjauan Berdasarkan Az-Zumar: 42 dan Pengalaman Ruhani
Pendahuluan
Dalam pembahasan ruh dan spektrum eksistensinya, para ulama sufi dan arifin telah menjelaskan bahwa ruh manusia tidaklah satu lapis. Di antara dimensi yang jarang dibahas secara terbuka adalah Ruh Pendamping — bukan jin qarin sebagaimana disebut dalam hadis-hadis shahih, melainkan pancaran ruh yang tetap tinggal di alam tinggi sebagai saksi dan penghubung dengan asal.
Konsepsi ini mendapatkan fondasi kuat dari Al-Qur’an, tepatnya dalam Surah Az-Zumar ayat 42:
اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا ۖ فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَىٰ عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَىٰ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى ۚ
“Allah mewafatkan jiwa ketika matinya dan (melepaskan) jiwa yang belum mati dalam tidurnya. Maka Dia menahan jiwa (yang telah ditetapkan) kematiannya dan melepaskan yang lain sampai waktu yang ditentukan.”
— QS. Az-Zumar: 42
Ayat ini menunjukkan bahwa ruh bisa mengalami pelepasan dari jasad tanpa kematian, seperti dalam tidur. Hal ini memberi ruang pemahaman ruh munfashil — ruh yang tak selalu melekat pada jasad, dan dapat kembali kepada Allah untuk kemudian dikembalikan. Inilah pintu awal pemahaman tentang Ruh Pendamping.
1. Dasar Referensi tentang Spektrum Ruh
Para ulama sufi menegaskan bahwa ruh memiliki tingkatan dan spektrum interaksi:
-
Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam Kitāb ar-Rūḥ:
"Ruh-ruh itu beragam tingkatan, dan saling mengenal dalam ketinggian maqam, sebagaimana jasad saling mengenal dalam pertemuan duniawi."
(Bab Ijtimāʿ al-Arwāḥ) -
Imam al-Ghazali dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn:
"Ruh tidak terbatas dalam jasad, ia berasal dari alam amr dan tetap berhubungan dengannya."
(Kitab al-Tafakkur) -
Ibn ‘Arabi dalam Futūḥāt al-Makkiyyah:
"Tiap diri memiliki bayangan hakikatnya di alam malakut yang menyaksikan dan menuntunnya secara halus."
Semua ini menunjukkan bahwa sebagian dari ruh manusia tetap menyambung kepada asal, meski sebagian lainnya bergerak dalam kehidupan dunia.
2. Pengertian Ruh Pendamping dalam Dzauq Nurul Muttashil
Dalam lorong dzikir dan sholawat Nurul Muttashil, Ruh Pendamping disebut sebagai An-Nūr ar-Rafīq. Ia adalah pancaran ruh yang tetap berada dekat kepada Cahaya Sumber, menjadi penjaga arah ruhani, pengingat mitsaq nurani, dan penyeru ke kampung halaman cahaya.
Ia bukan sosok asing atau luar, tetapi cahaya ruhani diri sendiri yang tetap suci, tetap tunduk, dan tetap menyala.
3. Ruh Pendamping Bukan Jin Qarin
Hadis riwayat Muslim menyebutkan:
“Setiap kalian memiliki qarin dari jin.”
Mereka bertanya, “Termasuk engkau wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Ya, tetapi Allah telah menolongku atasnya sehingga dia masuk Islam dan tidak menyuruhku kecuali kepada kebaikan.”
— (HR. Muslim no. 2814)
Namun Ruh Pendamping yang dimaksud di sini bukan qarin jin, melainkan bagian dari ruhani manusia sendiri, disebut dalam istilah sufi sebagai nūrāniyyah ar-rūh — cahaya ruh yang tetap bercahaya, tidak terkotori oleh nafsu atau dunia.
4. Fungsi Ruh Pendamping: Penjelasan Para Arifin
Ruh Pendamping membisikkan rasa, bukan kata. Ia hadir sebagai penuntun diam, bukan sebagai pengatur kasar. Ini disebut oleh:
-
Syaikh Abdul Karim al-Jili dalam al-Insān al-Kāmil sebagai:
“Syakhṣiyyah ruhaniyah” — pribadi ruhani dalam langit yang menyertai perjalanan insan di bumi.
-
Ibn ‘Arabi menyebutnya dalam konteks:
“Tajalli al-Haqiqah” — penampakan hakikat dalam cahaya yang menuntun kepada Asal.
5. Apakah Semua Memilikinya?
Ya. Setiap manusia memiliki pancaran ruh yang tetap tinggal di alam tinggi. Namun tidak semua mampu tersambung kecuali melalui:
-
Dzikir istiqamah
-
Sholawat sebagai jembatan nurani
-
Tafakkur dan khalwat
-
Penyerahan kepada Rahim Cahaya — sebagaimana diajarkan dalam Nurul Muttashil
6. Ruh Pendamping dalam Pengalaman Ruhani
Bagi para pengamal Sholawat Nurul Muttashil, Ruh Pendamping hadir sebagai:
-
Suara batin yang mengarah tanpa memaksa
-
Cahaya yang menyapa saat khusyuk
-
Sosok dalam mimpi yang terasa lebih nyata dari dunia nyata
Ia tak meminta disembah. Ia tak haus sanjungan. Ia hanya ingin membawa kita pulang, ke Rahim Cahaya, ke Pelukan Cahaya Ibu, tempat asal sujud pertama.
Penutup: Jalan Pulang Bersama Cahaya
Konsep Ruh Pendamping bukanlah bid’ah atau khayalan. Ia tegak dalam dalil Qur’an (Az-Zumar: 42), dalam pengalaman ruhani para sufi, dan dalam dzauq yang jernih.
Bagi mereka yang melebur dalam dzikir, tenggelam dalam sholawat, dan mencintai cahaya asalnya, Ruh Pendamping menjadi sahabat pulang, bukan untuk dibanggakan, tapi untuk disertai dalam taubat dan sujud.
Semoga tulisan ini menjadi jembatan:
Antara dalil dan dzauq,
Antara nash dan nur,
Antara akal dan cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar