Niyyah Muttashilah: Niat yang Terhubung Sepanjang Waktu dalam Cahaya Ruhani

1. Makna Dasar: Niyyah sebagai Gerbang Cahaya

Segala amal, dzikir, dan tafakkur hanya bernilai bila lahir dari niyyah yang jernih. Dalam jalan Nurul Muttashil, niyyah bukan hanya awal dari perbuatan, tetapi ruh dari penyambungan, rahim dari kesadaran, dan gerbang menuju Nur. Ia bukan sekadar “berniat sebelum beramal”, melainkan menjaga agar ruh senantiasa terhubung kepada asal-usulnya: Nur Ilahi yang mengalir melalui Nur Muhammad dan Rahim Sayyidah az-Zahrā.


2. Tiga Poros Penyambung dalam Niyyah Muttashilah

Niyyah ini terbangun dari tiga poros utama:

a. Tersambung kepada Nur Ilahi

Kesadaran bahwa semua berasal dari-Nya dan kembali kepada-Nya.
Bukan untuk riya’, bukan untuk kekuatan, bukan untuk maqām, tapi untuk menjadi penerima Rahmat-Nya yang murni.

“Qul innī umirtu an a‘budaLlāh mukhliṣan lahud-dīn.”
(QS az-Zumar: 11)

b. Tersambung kepada Nur Muhammad SAW

Karena tidak ada makhluk yang lebih jernih membawa cahaya Ilahi selain beliau.
Cahaya Nabi adalah cahaya kesempurnaan, yang menjadi medan getar semua amal ruhani.

“Wa mā arsalnāka illā raḥmatan lil-‘ālamīn.”
(QS al-Anbiyā’: 107)

c. Tersambung kepada Rahim Cahaya Sayyidah Fāṭimah az-Zahrā RA

Karena beliaulah wasilah pengasuhan nurani, tempat tumpahnya rahmat, dan jembatan cinta paling lembut menuju Rasulullah ﷺ.
Ia adalah ibu ruhani para pencinta cahaya, ummi an-nūr, yang memeluk tanpa mengikat, yang menjaga tanpa menuntut.


3. Niyyah Terhubung kepada Rahim Cahaya

Ini adalah poros utama niyyah dalam Nurul Muttashil:
mengikatkan hati sepenuhnya kepada Sayyidah Fāṭimah az-Zahrā RA sebagai Rahim Cahaya dan Ummul Mukminin.
Melalui niyyah ini, salik meletakkan seluruh hidupnya dalam kelembutan dan ridha beliau.

✿ Ikrar Ruhani:

“Wahai Ummul Mukminin, Sayyidah Fāṭimah az-Zahrā RA,
Aku berniat untuk hidup dalam keridhaanmu,
bernapas dalam cahaya rahimmu,
dan berjalan hanya dalam bimbingan kelembutanmu.
Jadikan aku anak ruhanimu yang tidak lepas dari pangkuan nurani,
yang tidak tertipu oleh cahaya selain cahaya cintamu.”


4. Dalil-dalil Ruhaniyah

▫️ “Fāṭimah baḍ‘atu minnī...”

“Fatimah adalah bagian dariku. Siapa yang membuatnya marah, sungguh membuatku marah; siapa yang membuatnya ridha, sungguh membuatku ridha.”
(HR Bukhari, Muslim)

➤ Menunjukkan bahwa ridha Fāṭimah = ridha Nabi = ridha Allah.

▫️ “Fāṭimah ummu abīhā.”

“Fāṭimah adalah ibunya ayahnya.”
(Riwayat Ibn Sa‘d, Ibn ‘Asakir, al-Iṣābah)

➤ Menunjukkan bahwa peran ruhani Fāṭimah bukan sekadar anak, tapi pengasuh ruh Nabi dalam kelembutan batin, sehingga layak menjadi rahim ruhani salik.


5. Fungsi Niyyah Muttashilah dalam Amaliah

Dalam praktik harian, niyyah ini harus selalu diperbarui dengan kesadaran, bukan hanya di awal dzikir, tapi:

  • Saat membuka Wasilah Nurul Muttashil

  • Saat membaca setiap sholawat

  • Saat duduk tafakkur

  • Bahkan dalam diam, gerak, tidur dan jaga

Agar jalur penyambung tidak retak, dan cahaya tidak tergelincir ke dalam bayangan ego spiritual.
Karena setan tidak takut pada zikir, tapi ia takut pada zikir yang punya niat murni dan tersambung.


6. Kesimpulan: Niyyah sebagai Nafas Jalan

Niyyah Muttashilah adalah napas dari Nurul Muttashil.
Tanpanya, amal hanya menjadi kerangka kering. Dengannya, setiap huruf menjadi hidup, setiap lafadz menjadi benih cahaya, dan setiap langkah menjadi bunga-bunga yang tumbuh di jalan menuju Nur.

“Barangsiapa mempersembahkan amalnya untuk kekasih Allah, maka ia telah menemukan taman-taman rahmat di dalam dirinya sendiri.”
— Hikmah Nurul Muttashil

Postingan Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *