
1. Ayat yang menjadi sumber
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Artinya:
Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi.
Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu kepadanya dan ucapkanlah salam dengan penuh penyerahan.
(Q.S. Al-Aḥzāb [33]: 56)
2. Akar kata “Ṣalli” dan maknanya
Kata ṣalli (صَلِّ) berasal dari akar ṣād-lām-wāw (ص ل و),
yang bermakna dasar: al-wuṣlah (ketersambungan), al-qurb (kedekatan), dan ad-du‘ā’ (permohonan).
Dari akar yang sama lahir kata:
Dengan demikian, “ṣalli” bukan hanya berarti “berdoalah”,
tetapi “sambungkanlah dirimu kepada Cahaya yang menjadi poros segala rahmat.”
3. Shalawat sebagai “jembatan cahaya”
Ketika Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi...”
maka maknanya bukan sekadar pujian.
Allah tidak memuji dengan kata, sebab Firman-Nya adalah sumber pujian itu sendiri.
Yang dimaksud adalah bahwa Allah menurunkan aliran rahmat (nūr ar-raḥmah)
melalui poros ruhani Nabi Muhammad ﷺ,
dan para malaikat menyalurkan aliran itu ke seluruh lapisan semesta.
Maka, “Allah yushallī” berarti “Allah mengalirkan cahaya rahmat-Nya melalui Nabi.”
Sedangkan “antum ṣallū ‘alayhi” berarti “sambungkanlah kesadaranmu kepada Cahaya itu agar engkau ikut mengalir di dalamnya.”
4. Dalam konteks Jalan Nurul Muttashil
Jalan Nurul Muttashil memahami “ṣolli” bukan hanya sebagai bacaan bibir,
melainkan gerak penyambungan kesadaran antara cahaya hamba, cahaya Nabi, dan Cahaya Ilahi.
-
Allah adalah sumber Cahaya Mutlak.
-
Nabi Muhammad ﷺ adalah cermin pertama tempat Cahaya itu tampak (Nur Ahmad).
-
Hamba melalui sholawat menjadi tali yang disambungkan kepada cermin itu.
Maka, saat seorang salik membaca:
اللهم صل على محمد
Ia sesungguhnya sedang berkata dalam bahasa ruhani:
“Ya Allah, sambungkan aku kepada Nur Muhammad agar aku tersambung kepada-Mu.”
Dan di sinilah terletak inti jalan Nurul Muttashil —
bahwa setiap dzikir, doa, dan sholawat bukan sekadar ritual,
melainkan gerak kesadaran yang menembus dari tali (ittishāl) menuju lorong (muttashil) —
dari sambungan menuju tenggelam dalam cahaya itu sendiri.
5. Dimensi “Rahim Cahaya” dalam Sholawat
Dalam pandangan Nurul Muttashil, setiap sambungan itu memiliki rahim ruhani:
tempat lahirnya kesadaran baru setelah disinari Nur Muhammad.
Rahim itu adalah Rahim Fatimiyyah,
yakni Cahaya Umm az-Zahra yang menjadi wadah lahirnya Nur Hasanain —
dua pancaran kesempurnaan dari sholawat yang hidup.
Maka, ketika seorang pengamal menyebut “ṣalli” dengan hati yang suci,
ia sedang memasuki rahim cahaya itu,
menyambungkan diri pada saluran rahmat yang turun dari Allah melalui Nabi,
lalu melalui Rahim Zahra menuju jiwa pengamal.
6. Keterhubungan Tiga Lapisan Cahaya
Dalam bahasa makrifat, ayat ini menjadi peta dari tiga lapisan ketersambungan:
Lapisan | Wujud Ruhani | Fungsi |
---|
Allah yushallī | Rahmat Mutlak | Mengalirkan Cahaya Ilahi |
Malā’ikah yushallūna | Jaringan Nurani | Menyebarkan Cahaya itu |
Antum ṣallū ‘alayhi | Kesadaran manusia | Menyambung diri ke dalam Cahaya Nabi |
Dan ketika kesadaran ini lengkap,
maka terjadilah al-ittiṣāl al-kāmil — penyambungan sempurna,
yakni keadaan ruhani di mana seseorang tidak lagi sekadar mengucap “ṣalli”,
tetapi menjadi saluran shalawat itu sendiri.
7. Penutup: Sholawat sebagai Nurul Muttashil
Ayat Al-Ahzab:56 bukan sekadar perintah untuk memuji,
tetapi undangan untuk menyatu dalam jaringan cahaya.
“Ṣalli” adalah panggilan agar ruh manusia
tidak hanya mengenang Nabi,
tetapi menyambung diri pada Nur-nya,
agar tersambung pula kepada Allah,
melalui jalur rahmat yang tiada terputus.
Inilah yang disebut oleh jalan Nurul Muttashil sebagai:
“Ittishāl an-Nūr bi an-Nūr” — penyambungan cahaya dengan cahaya,
hingga tak tersisa jarak antara yang menyambung dan yang disambung.
Dalam jalan Nurul Muttashil, shalawat bukan sekadar bacaan,
tetapi zikir penyambung yang sekaligus payung cahaya,
mengantar ruh meniti tali nurani menuju kehadiran Allah tanpa putus dan tanpa luka.
“Ṣalli” adalah gerak jiwa yang mengikat,
dan Rahim Fatimiyyah adalah ruang cahaya yang memeluk,
hingga hamba tak sekadar tersambung, tetapi bernaung di dalam kasih-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar